Selayaknya Senja
"Datang Menghadirkan Keindahan,
Lalu Hilang Perlahan Menyisakan Gelap"
Sena
adalah seorang anak yang mempunyai hobi fotografi. Sudah banyak hasil fotonya
yang dimasukkan ke dalam majalah. Baik landscape maupun portrait. Karena sudah
lama berkecimpung di dunia fotografi, ia mendapat tawaran untuk menjadi
narasumber disalah satu acara travel fair
di Surabaya. Mendengar hal itu, ia sangat bersemangat. Namun, satu hal yang
ia pikirkan adalah ia merasa tidak menyanggupi sebagai pembicara dalam sebuah
acara karena ia merasa bahwa dirinya adalah seorang yang introvert atau tidak banyak bicara. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya ia pun menerima
tawaran tersebut. Lalu ia berangkat menuju Surabaya di minggu berikutnya.
Sesampainya
di Surabaya, ia langsung menuju tempat dimana travel
fair itu diadakan. Tak disangka, beberapa temannya di Surabaya pun
ikut meramaikan acara tersebut. Mengetahui hal itu, ia pun makin bersemangat.
Tiba saatnya untuk menaiki panggung dan memulai perbincangan dengan pembawa acara.
Awalnya ia merasa gugup. Namun, setelah mendengar tepukan penonton dan teriakan
teman-temannya membuat rasa gugup yang ia rasakan pun hilang.
Setelah
acara travel fair itu selesai, ia
langsung diajak teman-temannya ke salah satu coffee shop untuk bercerita satu
sama lain, mulai dari pekerjaan sampai membahas tentang sebuah kehidupan.
Ketika di coffee shop, Awalnya semua
biasa saja. Sampai datang satu wanita ke meja mereka dan menyapa
teman-temannya. Ia pun bertanya-tanya siapa waita itu.
“Oi,
ndrong. Itu temanmu?”, tanya Sena.
“Iya,
Sen. Suka jadi model foto anak-anak lain juga disini. Cantik ya?” Jawab
temannya.
“Sabi,
sih. Hahaha..” tambah Sena.
Wanita itu pun duduk dikursi berhadapan dengan Sena dan langsung menatap Sena dengan
mata tajamnya yang begitu indah. Namun, tidak menyapanya. Sena
merasa makin penasaran dengannya. Karena Sena seorang yang Introvert, ia
hanya mampu diam dan memperhatikan setiap tutur kata yang diucapnya. Ia merasa
ada yang beda dari wanita ini. Datanglah satu momen dimana Sena memberanikan
diri untuk memperkenalkan dirinya.
Jani,
itulah namanya. Mereka pun terlarut dalam sebuah perbincangan panjang sampai
fajar menyapa. Mulai saat itu Sena merasa cocok dengan Jani dan ia memutuskan
untuk mendekati Jani. Sayangnya, itu adalah hari terakhir Sena di Surabaya
karena siang harinya ia harus kembali ke Jakarta.
Keseharian
Sena di Jakarta dilaluinya dengan terus berbincang dengan Jani melalui chat. Sempat sesekali video call dengannya. Suatu ketika, Sena
mendapat tawaran untuk foto produk sahabatnya, Nabila. Tanpa pikir panjang, ia
pun menerimanya. Pada saat pemotretan dengan Nabila berlangsung, anehnya tidak
ada satu pun chat Sena yang dibalas oleh Jani. Sena pun bingug apa yang
sebenarnya terjadi dengan Jani. Dichat tidak membalas, ditelfon tidak
mengangkat. Setelah pemotretan selesai, Sena memberi kabar kepada Jani. Dan
Jani pun langsung membalasnya.
“Jan,
aku udah selesai pemotretan ya. Mau langsung pulang.” Kata Sena.
“Iya,
hati-hati!” Jawab Jani dengan singkat.
“Wah
cepet banget balesnya sekarang, dari tadi kemana aja? chatku gak dibales,
telfon juga gak diangkat”.
“Lagi
males megang HP. Gak mau ganggu waktu kamu sama sahabatmu aja. Udah pulang dulu
sana!”
“Cailah,
cemburu nih ya sama Nabila.. yaudah aku pulang dulu”
Terjawab sudah, ternyata Jani cemburu dengan Nabila. Memang dasar wanita, ketika
menjawab “tidak” berarti “iya”. Mulai saat itu, Sena mulai mencoba untuk
memahami Jani.
Dua
minggu kemudian, Sena mendapat telfon dari sebuah mall di Surabaya untuk
mengikuti meeting membahas sebuah
acara yang akan diadakan oleh mall tersebut. Sena ditunjuk sebagai salah
seorang tim konsep acara itu. Sebuah kebetulan sekali, karena Sena sebenarnya
sudah merasa rindu dengan Jani. Besoknya, Sena pun langsung berangkat menuju
Surabaya.
Sena
sampai di Surbaya siang hari. Kali kedua Sena di Surabaya dan kali kedua juga
ia bertemu Jani. Jani pun menjemput Sena di Bandara. Tapi sorenya, mereka harus
berpisah sejenak karena Jani mempunyai jadwal pemotretan. Sena mengabari
teman-temannya untuk mengajak mereka bertemu disebuah coffee shop.
Tak
lama menunggu, teman-teman Sena datang. Gondrong, Jawir, Moris & Dadan.
“Wah,
gils. Makasih ya pada udah mau nyamper aku nih!” Sambut Sena dengan bahagia.
“Santai,
Sen. Emang kita lagi kosong juga” jawab Moris.
“Kamu
gimana, sen? Sama Jani? Kabar denger kabar gak berhenti nih chat-chatannya?
Hahaha.” Tanya Gondrong.
“Waduh,
baru juga duduk udah langsung ngegas aja nih pertanyaannya, hahaha.” Jawab
Sena.
“Gimana?
Acikiwir kan si Jani?” tanya Jawir, mengejek Sena.
“Ya,
sebenernya aku nyambung sih kalo ngobrol sama Jani. Anaknya asik, perhatian,
cantik lagi.”
“Wah,
fix ini mah kamu suka sama dia, Sen.” Kata Moris.
“Yaudah
sih, Sen, tembak aja. Lagian kamu kan udah lama ngejomblo, emang gak kesepian
apa tiap update di Instastory, dalem mobil sendiri, di coffee shop sendiri.”
Ucap Gondrong.
“Lah?
Kalo emang jadian pun bakal tetep sendiri juga, cuk! Kan jadinya LDR. Piye sih,
Ndrong? Hahaha.” Jawab Sena mentertawai ucapan Gondrong.
“Oh,
iya juga ya. Kok aku bego ya?”
“Dari
dulu!! Hahaha.” Jawab Sena, Jawir & Moris serentak.
Tidak
lama setelah itu, teman-teman Sena yang lain pun sampai. Mereka pun menanyakan
hal yang sama tentang kedekatan Sena dan Jani. Dan mereka juga kompak meminta
Sena untuk mengajak Jani jadian. Namun,
Sena tidak ingin terburu-buru. Ia tidak ingin merasakan sakit yang sama dengan
sebelumnya. Dimana ia pernah ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Itulah
sebabnya Sena memilih untuk menjomblo sampai waktu yang cukup lama.
Esok
harinya, Sena menghadiri meeting
dengan mall itu. Namun sangat disayangkan, Sena harus segera kembali ke Jakarta
seusai meeting karena ada pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Jani pun
tidak dapat menemani Sena, karena juga ada pekerjaan yang tidak dapat
ditinggalkan pada hari itu. Sena pamit kepada Jani ketika sudah waktunya untuk
kembali ke Jakarta. Jani pun merasa sedih karena tidak dapat menemani Sena
ketika berada di Surabaya.
Kembalinya
Sena ke Jakarta membuat Jani merasa ada yang hilang. Ternyata Jani pun
merasakan hal yang sama terhadap Sena. Ia menyukainya. Tak jarang Jani menyebut
nama Sena disaat ia sedang bersama teman-temannya. Suatu
waktu ia bermain dengan teman-temannya yang juga teman Sena juga.
“Eh,
Ris. Si Doni foto model bule nih!” kata Gondrong.
“Ah
yang bener kamu, Drong? Coba sini tak lihat!” jawab Moris.
Tak
sengaja Jani pun melihat foto itu juga.
“Yah
itu mah pernah difoto sama Sena juga!” kata Jani memotong pembicaraan Moris dan
Gondrong.
“Oh
iya, bener juga kamu, Jan. Pantes aku kayak pernah lihat ini cewek, ternyata
temannya Sena.” Ucap Gondrong.
Tanpa
Jani sadari, ia pun terus menyebut nama Sena ditengah pembicaraannya dengan
Moris dan Gondrong. Namun Moris dan Gondrong menyadari hal itu, mereka merasa
ada yang sedang dirasakan Jani terhadap Sena. Tiba-tiba, Dadan datang.
“Woy,
Dan. Lama banget dari tadi bilang OTW tapi baru sampe sekarang!” sambut Moris
yang kesal menunggu lama.
“Ya
sorry, kan aku gak bilang mau OTW sini atau mana. Tadi aku OTW ke kamar mandi,
hahaha!” jawab Dadan bercanda.
“Oh,
udah pinter kamu ya ngegocek kita! Eh, Dan. Kayaknya ada yang lagi falling in
love nih sama temen kita..” kata Gondrong.
“Wah
siapa nih? Aku baru sampe langsung di siram gosip hangat sepertinya.”
“Coba
tengok aja sebelah kirimu itu, Dan.” Ujar Moris.
Seketika
Dadan menoleh ke arah kiri, tempat dimana Jani duduk. Jani pun hanya dapat
tersenyum dengan malu mendengar ucapan Gondrong. Pembicaraan setelah itu pun
berubah mengerucut tentang Sena. Karena akhir-akhir ini, Sena selalu ada
dipikiran Jani. Banyak sekali pertanyaan yang ditanyakan Jani kepada Moris,
Gondrong dan Dadan tentang Sena. Salah satunya adalah tentang tipekal seperti
apa Sena. Malam pun semakin larut, sampailah di penghujung pembicaraan dimana
Gondrong, Moris, dan Dadan memberikan tanggapan dan saran kepada Jani.
“Jadi
gitu, Jan. Kalo kamu emang beneran sayang sama Sena mending kamu pikir-pikir
dulu. Kan kamu tau, Sena di Jakarta punya banyak temen cewek.” Ungkap Gondrong.
“Iya,
Mas Drong. Aku tau kok.” Jawab Jani.
“Oh
iya Jan, si Sena juga orangnya tuh paling gabisa dikecewain. Layaknya kertas
kalo udah lecek gak bakalan bisa rapih lagi. Jadi kalo menurutku sih kamu
jangan sampe bikin dia kecewa semisal nanti jadi sama Sena.” Ujar Moris.
“Betul
tuh, dia tuh kalo kita baik bakal lebih baik sama kita. Kalo kita jahat sama
dia, dia bakal lebih jahat sama kita. Bahaya kan? Hahaha.” Tambah Dadan.
Karena sudah larut malam, mereka kembali pulang ke rumahnya masing-masing.
Satu
bulan kemudian, Sena membuat Photo Exhibition di kota para seniman, Yogyakarta.
Ia pun mengundang teman-teman terdekatnya untuk menghadiri Photo Exhibition
yang ia buat. Juga termasuk teman-temannya di Surabaya, Gondrong, Moris dan
Dadan. Ternyata mereka pun datang menghadiri Photo Exhibition itu.
Ketika
acara berlangsung, Sena pun tidak menyangka teman-temannya dari Surabaya
datang.
“Woy,
Sen! Selamat ya! Gila emang kamu, Sen!” Sapa Moris.
“Wah,
Makasih Ris. Gak nyangka banget kalian dateng, terkejut aku tuh hahah” Jawab
Sena.
“Tapi
gak kita doang nih Sen yang dateng. Ada juga yang tiba-tiba mau ikut kita ke
sini.” Ujar Dadan.
“Hah?
Siapa dan?” jawab Sena dengan penuh kebingungan.
Tiba-tiba,
nampak dari kejauhan sosok Jani yang saat itu Sena dambakan. Mereka pun saling
sapa dan berbincang. Tapi, sangat disayangkan karena masih didalam rangkaian
acara, Sena harus pergi meninggalkan Jani sesaat.
Seusai
acara, Sena mengajak Jani dan teman-temannya untuk pergi ke sebuah pantai di
dekat tempat itu. Sena berharap untuk dapat menikmati senja disana. Sena tahu
betul bahwa Jani sangat menyukai senja. Dan mereka pun datang tepat pada
waktunya. Mereka segera mencari tempat untuk mereka duduk menikmati senja itu.
“Jan,
ikut bentar yuk! Ada yang mau aku omongin.” Ujar Sena.
“Ha?
Kenapa sen? Emang gak bisa disini aja?” jawab Jani.
“Udah,
yuk ikut aja. Biar bisa ;ebih terbuka aja ngobrolnya.”
Mereka
pun berjalan di pinggir pantai sambil berbincang.
“Jan,
kamu kenapa tiba-tiba bisa ikut mereka dateng ke acara aku?” tanya Sena.
“Ya,
emang kenapa sih? Gaboleh gitu?” jawab Jani.
“Gapapa
kok, cuma aku gak nyangka aja kamu bakal dateng.”
“yaudah
sih.. Eh Sen, ngomong-ngomong senja itu kayak kita ya?”
“Kok
kayak kita?”
“Iya,
senja itu kayak singkiatan nama kita. Sena Jani, hehe.”
“Yeh,
bisa aja. oh iya, Jan. Akum aku mau ngomong sesuatu nih..”
“Ngomong
mah ngomong aja, Sen.”
“Yaudah,
nih ya. Kita kan udah lumayan kenal lama. Terus kita chattingan juga
terus-terusan. Aku ngerasa nyaman banget ngobrol sama kamu. Kayaknya kita cocok
dan aku selalu ngerasa pengen deket kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?” Tanya
Sena.
“Enggak,
Sen.” Jawab Jani dengan tegas.
“Hah,
Serius nih?!” Sena terkaget.
“Enggak,
maksud aku Enggak salah lagi kita ngerasain hal yang sama, hehehe. Ya aku juga
Enggak akan nolak lah!”
“Huf,
kamu ada-ada aja deh. Aku udah hampir jantungan nih.”
“Haha.
Gak bisa bercanda banget sih anaknya..”
Seusai
matahari terbenam, mereka pun kembali ke tempat Gondrong, Moris, dan Dadan.
Setelah itu melanjutkan untuk pulang ke tempat masing-masing untuk
beristirahat.
Satu
bulan pertama dilalui dengan begitu indahnya. Jani sangat perhatian kepada
Sena. Mereka selalu video call disetiap malamnya. Kata rindu pun selalu
memenuhi isi chat mereka. Di bulan berikutnya, sesekali Jani merasa cemburu dan
menghilang ketika Sena memotret model.
Memasuki
bulan ketiga, terjadi sesuatu terhadap Sena. Penyakit yang selama ini ia derita
dan sembunyikan dari Jani kambuh. Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Sena. Jani
bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Sena. Jani melihat Instagram
milik Sena pun tidak ada aktifitas didalamnya selama 3 hari. Jani mulai
menanyai teman-teman Sena. Sampailah pada hari ke-7 HP Jani berbunyi, terdapat
notifikasi dari Sena. Sena menjelaskan kepada Jani apa yang sebenarnya terjadi.
Jani langsung menelfon Sena.
“Halo,
Sen! Kamu kenapa sih gak bilang sama aku kalo kamu sakit?”
“Iya,
maaf ya. Tulang belakang aku mendadak sakit banget sampe gak bisa bergerak. Aku
gak bisa ambil HP untuk ngabarin kamu. Kemarin aku langsung dibawa ke rumah
sakit karena udah gak bisa bergerak kakiku. Dan HP aku ketinggalan di rumah.
Dari kemarin aku tidur aja biar gak ngerasain sakit itu.”
“huh,
aku panik tau gak sih?! Tapi sekarang gimana? Kamu udah mendingan?”
“iya,
udah kok. Ini HP aku baru dateng makanya langsung ngabarin kamu, Jan.”
“Yaudah
minggu depan aku ke Jakarta ya, jenguk kamu.”
“iya,
gausah dipaksain tapi ya.”
Dihari
yang sama Sena pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, ia tetap harus
menjalani terapi setiap harinya. 3 hari pertama yang begitu berat untuk Sena.
Apalagi setelah ia mendengar kabar dari dokter bahwa dirinya diperkirakan akan
lumpuh. Sering ia melamun dan berpikir untuk menyudahi hidupnya karena ia
merasa sangat merepotkan hidup kedua orang tuanya.
Tiba-tiba,
Jani memberi tahu Sena bahwa dirinya sedang bingung. Ia melihat teman-temannya
sedang berlibur ke Bali. Dan ia pun ingin menyusul mereka. Ia coba meminta
izin kepada Sena untuk menyusul teman-temannya itu. Tanpa niat menghalangi dan
sedikit rasa kesal dengan balasan yang singkat, Sena pun memperbolehkannya.
Jani sadar mengapa Sena terlihat kesal dalam chatnya. Menyadari hal itu ia langsung meminta
maaf kepada Sena karena sempat tidak memikirkan dirinya.
Namun,
Jani tetap memkasakan dirinya untuk pergi ke Bali dan melupakan janjinya untuk
menjenguk Sena. Sena pun merasa sangat kecewa kepada Jani. Ia berpikir,
bisa-bisanya Jani pergi berlibur ketika dirinya sedang melawan rasa sakit yang
ia derita.
Selama
Jani di Bali, Jani selalu memikirkan Sena. Ia mencoba untuk menghubungi Sena,
namun Sena tidak menjawabnya. Sena sangat kecewa dengan keputusan yang Jani
ambil untuk pergi ke Bali menyusul teman-temannya. Sena lebih memilih untuk
tidak memikirkan hal itu dan fokus melawan rasa sakit yang ia rasakan.
Satu minggu berlalu dan sudah saatnya Jani
kembali ke rumah. Ia tidak sanggup menahan rindu yang ia rasakan kepada Sena
karena Sena menghilang tidak ada kabar. Rasa rindu, kesal dan khawatir pun bercampur aduk menjadi satu. Ia mencoba untuk menelfon Sena, namun
masih tidak ada jawaban. Sena masih belum dapat berbicara kepada Jani. Ia masih
merasa sulit untuk melupakan kejadian itu. Memang, memaafkan bukan berarti
melupakan. Sesulit itu ternyata. Layaknya kertas yang rapih, apabila sudah
lecek tidak lagi dapat kembali rapih seperti awalnya.
Sena
pun mencoba untuk memaafkan Jani dan melupakan kejadian itu. Ia segera memberi
kabar kepada Jani dan meminta maaf karena sempat tidak membalas pesan dan
menjawab telfonnya.
Sangat disayangkan, setelah kejadian itu, setiap
hal yang Jani lakukan terasa mengecewakan untuk Sena. Tetapi Sena tidak
menunjukan kepada Jani mengenai hal itu. Ia lalui hari seperti biasa saja.
Namun tetap saja Sena tidak bisa menyembukan perasaan yang selama ini ia rahasiakan
kepada Jani. Ia selalu memberi alasan kepada Jani sedang tidak memegang HP saat
di telfonnya.
Tahun
berganti, dan sena sudah mulai dapat berjalan seperti biasa setelah
melakukan terapi di tiap harinya. Sena mencoba untuk kembali mengobrol
dengan Jani melalu telfon.
“Halo,
Jani. Apakabar?” Tanya Sena dengan kaku.
“Halo,
baik kok. Akhirnya setelah sekian lama kamu mau ngomong lagi ya sama aku.”
Jawab Jani.
“Iya,
maaf ya. Aku masih kepikiran banget sama yang kemarin kamu lakuin.”
“Huhu,
iya gapapa. Aku kan udah minta maaf sama kamu. Aku gak akan ngulangin hal yang
sama dan coba buat gak lebih egois kok.”
“Iya,
gapapa kok Jan. Aku udah maafin kamu dan coba untuk ngerti kamu.”
Sena
berusaha menutupi perasaan kecewanya. Ia juga berusaha untuk memperbaiki
hubungannya dengan Jani. Dan mereka menjalani hari seperti biasanya tanpa
membahas masalah sebelumnya. Meskipun terasa sulit, namun ia tetap mencoba yang
terbaik.
Jani juga berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sena dan menyempatkan dirinya datang ke
Jakarta untuk memberi kejutan kepada Sena pada saat dia ulang tahun. Sena
memang merasa terkejut atas kehadiran Jani. Namun apa daya, ia masih belum
dapat melupakan kejadian sebelumnya. Seolah ingatan itu tiba-tiba datang
kembali menghantui pikirannya dan ia pun menutupi perasaannya dengan menunjukan
seolah-olah ia senang atas kehadiran Jani saat itu.
Sena
selalu menemani Jani selama ia di Jakarta. Mengajaknya ke coffee shop yang
biasa Sena datangi, juga ke tempat wisata yang ada di Jakarta. Dan sena
pun ingin memperkenalkan Jani kepada orang tuanya dan juga teman-temannya. Sena
memang mempunyai jadwal rutin berolahraga ditiap minggunya bersama teman-teman yang ingin ia
kenalkan kepada Jani. Namun saat diajak untuk ikut menemaninya berolahraga
dengan teman-temannya, Jani menolaknya.
“Jan,
temenin aku olahraga yuk!” Ajak Sena.
“Hah?
Olahraga? Olahraga apa?” Jani balik bertanya.
“Main
bulutangkis, sekalian kamu aku kenalin ke temen-temen aku biar kamu percaya
sama aku kalo aku lagi sama mereka. Tapi nanti mampir ke rumahku dulu ya untuk
ambil baju biar sekalian kamu aku kenalin sama orang tua aku.”
“Terus
pas kamu main bulutangkis aku ngapain? Duduk diem aja gitu?”
“Ya
engga, kamu kan bisa ngobrol sama pacarnya temen-temen aku nanti. Pasti kamu
gak akan bosen deh kalo ketemu mereka.”
“Duh,
enggak deh Sen. Aku telfon temen aku aja ya biar nongkrong sama temenku aja.”
“Hah?
Kamu serius nih?!”
Mendengar
jawaban Jani, Sena tidak menyangkanya. Karena tidak dapat menutupi kecewanya,
ia pergi meninggalkan Jani dengan teman-temannya dan berolahraga. Jani tidak menyadari bahwa Sena kecewa terhadapnya. Ia asik
berbincang dengan teman-temannya tanpa memikirkan Sena. Saat malam tiba dalam kesendiriannya, ia menyadari bahwa Sena kecewa terhadap dirinya. Ia menelpon Sena, tapi tidak ada jawaban.
Esok
harinya, barulah ada kabar dari Sena. Karena merasa harus menemani Jani, Sena kembali menghampiri
Jani. Dan kembali,
Sena merahasiakan perasaannya dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa
kepadanya. Jani sudah mengetahui hal itu, dan ia segera meminta maaf kepada Sena karena ia tidak mengerti maksud baik Sena. Tanpa menghiraukan masalah itu, Sena mengajak Jani menonton film yang agar suasana kembali normal. Sena coba untuk mengesampingkan rasa kecewanya seolah tidak terjadi apa-apa.
Tidak terasa sudah tiba
saatnya Jani untuk kembali ke Surabaya. Beberapa hari di Jakarta mengajarkan Jani banyak hal dan ia merasa lebih mengenal Sena. Sena mengantarnya ke bandara. Ketkika di
Bandara, Jani merasa ada yang aneh terhadap Sena.
“Sen,
kita baik-baik aja kan?” tanya Jani dengan penuh khawatir.
“Iya,
tenang aja. hehe.” Jawabnya sambil tersenyum kecil.
Jani merasa curiga dengan jawaban Sena yang tidak biasa itu. Tapi, Panggilan
pesawat Jani sudah terdengar. Jani memeluk Sena dengan erat dan membisikan Sena
bahwa ia begitu menyangi Sena. Tanpa menjawab, Sena lagi-lagi hanya memberikan senyuman
kecil kepadanya. Jani pun pergi meninggalkan Jakarta dengan sedikit murung memikirkan apa maksud senyum kecil Sena kepadanya itu. Tidak seperti perpisahan
biasanya, Sena tidak merasakan sebuah kesedihan yang mendalam ketika
ditinggalkan Jani. Rasa kecewa yang ia rasakan kepada Jani lebih besar dan
selalu menghantui pikirannya.
Waktu
terus berjalan, hari demi hari Sena semakin merasakan sebuah kehampaan dalam
hubungannya dengan Jani. Sena masih belum dapat mengatakan yang sebenarnya
kepada Jani. Ia tetap merahasiakan perasaan itu. Tidak seperti biasanya, ia
tidak mengabari Jani ketika ingin bertemu teman-temannya, meminta izin ketika
mendapatkan pekerjaan fotografinya, lebih sering menghilang dan hanya membalas
pesan jani seperlunya.
Akhirya
Sena sampai pada saat dimana ia tidak mampu menahan perasaan yang ia rahasiakan
selama ini. Ia berpikiran, jika ia memendam keewanya lebih lama terhadap Jani, akan membuat Jani lebih merasakan sakit nantinya. Lalu ia memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sebenarnya
kepada Jani. Jani hanya mampu terdiam, menahan sedih yang ia rasakan begitu
dalam. Dengan tegar dan mencoba mengerti, Jani mengiyakan permintaan Sena. Mereka berdua berpisah.
Hubungan mereka berlangsung hanya sesaat. Selayaknya senja, Sena datang menghadirkan keindahan, lalu hilang perlahan menyisakan gelap untuk Jani.
-SELESAI-