19Marv

I am a Writer

Marvi Sitepu

My friends call me Marv. I am 22 years old. I was born in Jakarta, January19th, 1995. I Start my education at Alazhar elementary school until junior high school. Then I move to 81 Jakarta Senior High School. I am law student in University of Indonesia. I honestly really love photography, my dad tell me that if you love to taking picture just do it, so I decided to join Darwis Triadi school of Photography and I already graduated .
My blog is all about lifestyle, either traveling, fashion, photograph, food and drink, etc.

  • Jakarta Timur, 13340, Indonesia.
  • +62823-1161-5566
  • mformarv@gmail.com
Me

My Professional Skills

Honestly I am a Photographer, but sometimes my friends offer me to be a model. I like to go somwhere that I never been there, I mean Explore Indonesia and its like look how beautiful nature that we have, knowing more cultures, meet new friends, and talk with stranger.

Photographer 90%
Editing 85%
Traveling 75%
Food and Drink 85%
Model 90%
Writer 80%
  • #SEPERTIAKU - Selayaknya Senja



    Selayaknya Senja

    "Datang Menghadirkan Keindahan,
    Lalu Hilang Perlahan Menyisakan Gelap"


    Sena adalah seorang anak yang mempunyai hobi fotografi. Sudah banyak hasil fotonya yang dimasukkan ke dalam majalah. Baik landscape maupun portrait. Karena sudah lama berkecimpung di dunia fotografi, ia mendapat tawaran untuk menjadi narasumber disalah satu acara travel fair di Surabaya. Mendengar hal itu, ia sangat bersemangat. Namun, satu hal yang ia pikirkan adalah ia merasa tidak menyanggupi sebagai pembicara dalam sebuah acara karena ia merasa bahwa dirinya adalah seorang yang introvert atau tidak banyak bicara. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya ia pun menerima tawaran tersebut. Lalu ia berangkat menuju Surabaya di minggu berikutnya.

    Sesampainya di Surabaya, ia langsung menuju tempat dimana travel fair itu diadakan. Tak disangka, beberapa temannya di Surabaya pun ikut meramaikan acara tersebut. Mengetahui hal itu, ia pun makin bersemangat. Tiba saatnya untuk menaiki panggung dan memulai perbincangan dengan pembawa acara. Awalnya ia merasa gugup. Namun, setelah mendengar tepukan penonton dan teriakan teman-temannya membuat rasa gugup yang ia rasakan pun hilang.

    Setelah acara travel fair itu selesai, ia langsung diajak teman-temannya ke salah satu coffee shop untuk bercerita satu sama lain, mulai dari pekerjaan sampai membahas tentang sebuah kehidupan. Ketika di coffee shop, Awalnya semua biasa saja. Sampai datang satu wanita ke meja mereka dan menyapa teman-temannya. Ia pun bertanya-tanya siapa waita itu.

    “Oi, ndrong. Itu temanmu?”, tanya Sena.

    “Iya, Sen. Suka jadi model foto anak-anak lain juga disini. Cantik ya?” Jawab temannya.

    “Sabi, sih. Hahaha..” tambah Sena.

    Wanita itu pun duduk dikursi berhadapan dengan Sena dan langsung menatap Sena dengan mata tajamnya yang begitu indah. Namun, tidak menyapanya. Sena merasa makin penasaran dengannya. Karena Sena seorang yang Introvert, ia hanya mampu diam dan memperhatikan setiap tutur kata yang diucapnya. Ia merasa ada yang beda dari wanita ini. Datanglah satu momen dimana Sena memberanikan diri untuk memperkenalkan dirinya.

    Jani, itulah namanya. Mereka pun terlarut dalam sebuah perbincangan panjang sampai fajar menyapa. Mulai saat itu Sena merasa cocok dengan Jani dan ia memutuskan untuk mendekati Jani. Sayangnya, itu adalah hari terakhir Sena di Surabaya karena siang harinya ia harus kembali ke Jakarta.

    Keseharian Sena di Jakarta dilaluinya dengan terus berbincang dengan Jani melalui chat. Sempat sesekali video call dengannya. Suatu ketika, Sena mendapat tawaran untuk foto produk sahabatnya, Nabila. Tanpa pikir panjang, ia pun menerimanya. Pada saat pemotretan dengan Nabila berlangsung, anehnya tidak ada satu pun chat Sena yang dibalas oleh Jani. Sena pun bingug apa yang sebenarnya terjadi dengan Jani. Dichat tidak membalas, ditelfon tidak mengangkat. Setelah pemotretan selesai, Sena memberi kabar kepada Jani. Dan Jani pun langsung membalasnya.

    “Jan, aku udah selesai pemotretan ya. Mau langsung pulang.” Kata Sena.

    “Iya, hati-hati!” Jawab Jani dengan singkat.

    “Wah cepet banget balesnya sekarang, dari tadi kemana aja? chatku gak dibales, telfon juga gak diangkat”.

    “Lagi males megang HP. Gak mau ganggu waktu kamu sama sahabatmu aja. Udah pulang dulu sana!”

    “Cailah, cemburu nih ya sama Nabila.. yaudah aku pulang dulu”

    Terjawab sudah, ternyata Jani cemburu dengan Nabila. Memang dasar wanita, ketika menjawab “tidak” berarti “iya”. Mulai saat itu, Sena mulai mencoba untuk memahami Jani.

    Dua minggu kemudian, Sena mendapat telfon dari sebuah mall di Surabaya untuk mengikuti meeting membahas sebuah acara yang akan diadakan oleh mall tersebut. Sena ditunjuk sebagai salah seorang tim konsep acara itu. Sebuah kebetulan sekali, karena Sena sebenarnya sudah merasa rindu dengan Jani. Besoknya, Sena pun langsung berangkat menuju Surabaya.

    Sena sampai di Surbaya siang hari. Kali kedua Sena di Surabaya dan kali kedua juga ia bertemu Jani. Jani pun menjemput Sena di Bandara. Tapi sorenya, mereka harus berpisah sejenak karena Jani mempunyai jadwal pemotretan. Sena mengabari teman-temannya untuk mengajak mereka bertemu disebuah coffee shop.

    Tak lama menunggu, teman-teman Sena datang. Gondrong, Jawir, Moris & Dadan.

    “Wah, gils. Makasih ya pada udah mau nyamper aku nih!” Sambut Sena dengan bahagia.

    “Santai, Sen. Emang kita lagi kosong juga” jawab Moris.

    “Kamu gimana, sen? Sama Jani? Kabar denger kabar gak berhenti nih chat-chatannya? Hahaha.” Tanya Gondrong.

    “Waduh, baru juga duduk udah langsung ngegas aja nih pertanyaannya, hahaha.” Jawab Sena.

    “Gimana? Acikiwir kan si Jani?” tanya Jawir, mengejek Sena.

    “Ya, sebenernya aku nyambung sih kalo ngobrol sama Jani. Anaknya asik, perhatian, cantik lagi.”

    “Wah, fix ini mah kamu suka sama dia, Sen.” Kata Moris.

    “Yaudah sih, Sen, tembak aja. Lagian kamu kan udah lama ngejomblo, emang gak kesepian apa tiap update di Instastory, dalem mobil sendiri, di coffee shop sendiri.” Ucap Gondrong.

    “Lah? Kalo emang jadian pun bakal tetep sendiri juga, cuk! Kan jadinya LDR. Piye sih, Ndrong? Hahaha.” Jawab Sena mentertawai ucapan Gondrong.
     
    “Oh, iya juga ya. Kok aku bego ya?”

    “Dari dulu!! Hahaha.” Jawab Sena, Jawir & Moris serentak.

    Tidak lama setelah itu, teman-teman Sena yang lain pun sampai. Mereka pun menanyakan hal yang sama tentang kedekatan Sena dan Jani. Dan mereka juga kompak meminta Sena untuk mengajak Jani jadian. Namun, Sena tidak ingin terburu-buru. Ia tidak ingin merasakan sakit yang sama dengan sebelumnya. Dimana ia pernah ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Itulah sebabnya Sena memilih untuk menjomblo sampai waktu yang cukup lama.
     
    Esok harinya, Sena menghadiri meeting dengan mall itu. Namun sangat disayangkan, Sena harus segera kembali ke Jakarta seusai meeting karena ada pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Jani pun tidak dapat menemani Sena, karena juga ada pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan pada hari itu. Sena pamit kepada Jani ketika sudah waktunya untuk kembali ke Jakarta. Jani pun merasa sedih karena tidak dapat menemani Sena ketika berada di Surabaya.

    Kembalinya Sena ke Jakarta membuat Jani merasa ada yang hilang. Ternyata Jani pun merasakan hal yang sama terhadap Sena. Ia menyukainya. Tak jarang Jani menyebut nama Sena disaat ia sedang bersama teman-temannya. Suatu waktu ia bermain dengan teman-temannya yang juga teman Sena juga.
     
    “Eh, Ris. Si Doni foto model bule nih!” kata Gondrong.

    “Ah yang bener kamu, Drong? Coba sini tak lihat!” jawab Moris.
    Tak sengaja Jani pun melihat foto itu juga.

    “Yah itu mah pernah difoto sama Sena juga!” kata Jani memotong pembicaraan Moris dan Gondrong.

    “Oh iya, bener juga kamu, Jan. Pantes aku kayak pernah lihat ini cewek, ternyata temannya Sena.” Ucap Gondrong.

    Tanpa Jani sadari, ia pun terus menyebut nama Sena ditengah pembicaraannya dengan Moris dan Gondrong. Namun Moris dan Gondrong menyadari hal itu, mereka merasa ada yang sedang dirasakan Jani terhadap Sena. Tiba-tiba, Dadan datang.

    “Woy, Dan. Lama banget dari tadi bilang OTW tapi baru sampe sekarang!” sambut Moris yang kesal menunggu lama.

    “Ya sorry, kan aku gak bilang mau OTW sini atau mana. Tadi aku OTW ke kamar mandi, hahaha!” jawab Dadan bercanda.

    “Oh, udah pinter kamu ya ngegocek kita! Eh, Dan. Kayaknya ada yang lagi falling in love nih sama temen kita..” kata Gondrong.

    “Wah siapa nih? Aku baru sampe langsung di siram gosip hangat sepertinya.”

    “Coba tengok aja sebelah kirimu itu, Dan.” Ujar Moris.

    Seketika Dadan menoleh ke arah kiri, tempat dimana Jani duduk. Jani pun hanya dapat tersenyum dengan malu mendengar ucapan Gondrong. Pembicaraan setelah itu pun berubah mengerucut tentang Sena. Karena akhir-akhir ini, Sena selalu ada dipikiran Jani. Banyak sekali pertanyaan yang ditanyakan Jani kepada Moris, Gondrong dan Dadan tentang Sena. Salah satunya adalah tentang tipekal seperti apa Sena. Malam pun semakin larut, sampailah di penghujung pembicaraan dimana Gondrong, Moris, dan Dadan memberikan tanggapan dan saran kepada Jani.

    “Jadi gitu, Jan. Kalo kamu emang beneran sayang sama Sena mending kamu pikir-pikir dulu. Kan kamu tau, Sena di Jakarta punya banyak temen cewek.” Ungkap Gondrong.

    “Iya, Mas Drong. Aku tau kok.” Jawab Jani.

    “Oh iya Jan, si Sena juga orangnya tuh paling gabisa dikecewain. Layaknya kertas kalo udah lecek gak bakalan bisa rapih lagi. Jadi kalo menurutku sih kamu jangan sampe bikin dia kecewa semisal nanti jadi sama Sena.” Ujar Moris.

    “Betul tuh, dia tuh kalo kita baik bakal lebih baik sama kita. Kalo kita jahat sama dia, dia bakal lebih jahat sama kita. Bahaya kan? Hahaha.” Tambah Dadan.

    Karena sudah larut malam, mereka kembali pulang ke rumahnya masing-masing.

    Satu bulan kemudian, Sena membuat Photo Exhibition di kota para seniman, Yogyakarta. Ia pun mengundang teman-teman terdekatnya untuk menghadiri Photo Exhibition yang ia buat. Juga termasuk teman-temannya di Surabaya, Gondrong, Moris dan Dadan. Ternyata mereka pun datang menghadiri Photo Exhibition itu.


    Ketika acara berlangsung, Sena pun tidak menyangka teman-temannya dari Surabaya datang.


    “Woy, Sen! Selamat ya! Gila emang kamu, Sen!” Sapa Moris.


    “Wah, Makasih Ris. Gak nyangka banget kalian dateng, terkejut aku tuh hahah” Jawab Sena.


    “Tapi gak kita doang nih Sen yang dateng. Ada juga yang tiba-tiba mau ikut kita ke sini.” Ujar Dadan.

    “Hah? Siapa dan?” jawab Sena dengan penuh kebingungan.



    Tiba-tiba, nampak dari kejauhan sosok Jani yang saat itu Sena dambakan. Mereka pun saling sapa dan berbincang. Tapi, sangat disayangkan karena masih didalam rangkaian acara, Sena harus pergi meninggalkan Jani sesaat. 


    Seusai acara, Sena mengajak Jani dan teman-temannya untuk pergi ke sebuah pantai di dekat tempat itu. Sena berharap untuk dapat menikmati senja disana. Sena tahu betul bahwa Jani sangat menyukai senja. Dan mereka pun datang tepat pada waktunya. Mereka segera mencari tempat untuk mereka duduk menikmati senja itu.

    “Jan, ikut bentar yuk! Ada yang mau aku omongin.” Ujar Sena.

    “Ha? Kenapa sen? Emang gak bisa disini aja?” jawab Jani.

    “Udah, yuk ikut aja. Biar bisa ;ebih terbuka aja ngobrolnya.”

    Mereka pun berjalan di pinggir pantai sambil berbincang.

    “Jan, kamu kenapa tiba-tiba bisa ikut mereka dateng ke acara aku?” tanya Sena.

    “Ya, emang kenapa sih? Gaboleh gitu?” jawab Jani.

    “Gapapa kok, cuma aku gak nyangka aja kamu bakal dateng.”

    “yaudah sih.. Eh Sen, ngomong-ngomong senja itu kayak kita ya?”

    “Kok kayak kita?”

    “Iya, senja itu kayak singkiatan nama kita. Sena Jani, hehe.”

    “Yeh, bisa aja. oh iya, Jan. Akum aku mau ngomong sesuatu nih..”

    “Ngomong mah ngomong aja, Sen.”

    “Yaudah, nih ya. Kita kan udah lumayan kenal lama. Terus kita chattingan juga terus-terusan. Aku ngerasa nyaman banget ngobrol sama kamu. Kayaknya kita cocok dan aku selalu ngerasa pengen deket kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?” Tanya Sena.

    “Enggak, Sen.” Jawab Jani dengan tegas.

    “Hah, Serius nih?!” Sena terkaget. 

    “Enggak, maksud aku Enggak salah lagi kita ngerasain hal yang sama, hehehe. Ya aku juga Enggak akan nolak lah!”

    “Huf, kamu ada-ada aja deh. Aku udah hampir jantungan nih.”

    “Haha. Gak bisa bercanda banget sih anaknya..”

    Seusai matahari terbenam, mereka pun kembali ke tempat Gondrong, Moris, dan Dadan. Setelah itu melanjutkan untuk pulang ke tempat masing-masing untuk beristirahat. 

    Satu bulan pertama dilalui dengan begitu indahnya. Jani sangat perhatian kepada Sena. Mereka selalu video call disetiap malamnya. Kata rindu pun selalu memenuhi isi chat mereka. Di bulan berikutnya, sesekali Jani merasa cemburu dan menghilang ketika Sena memotret model.

    Memasuki bulan ketiga, terjadi sesuatu terhadap Sena. Penyakit yang selama ini ia derita dan sembunyikan dari Jani kambuh. Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Sena. Jani bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Sena. Jani melihat Instagram milik Sena pun tidak ada aktifitas didalamnya selama 3 hari. Jani mulai menanyai teman-teman Sena. Sampailah pada hari ke-7 HP Jani berbunyi, terdapat notifikasi dari Sena. Sena menjelaskan kepada Jani apa yang sebenarnya terjadi. Jani langsung menelfon Sena.



    “Halo, Sen! Kamu kenapa sih gak bilang sama aku kalo kamu sakit?”

    “Iya, maaf ya. Tulang belakang aku mendadak sakit banget sampe gak bisa bergerak. Aku gak bisa ambil HP untuk ngabarin kamu. Kemarin aku langsung dibawa ke rumah sakit karena udah gak bisa bergerak kakiku. Dan HP aku ketinggalan di rumah. Dari kemarin aku tidur aja biar gak ngerasain sakit itu.”

    “huh, aku panik tau gak sih?! Tapi sekarang gimana? Kamu udah mendingan?”

    “iya, udah kok. Ini HP aku baru dateng makanya langsung ngabarin kamu, Jan.”

    “Yaudah minggu depan aku ke Jakarta ya, jenguk kamu.”
     
    “iya, gausah dipaksain tapi ya.”

    Dihari yang sama Sena pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, ia tetap harus menjalani terapi setiap harinya. 3 hari pertama yang begitu berat untuk Sena. Apalagi setelah ia mendengar kabar dari dokter bahwa dirinya diperkirakan akan lumpuh. Sering ia melamun dan berpikir untuk menyudahi hidupnya karena ia merasa sangat merepotkan hidup kedua orang tuanya.

    Tiba-tiba, Jani memberi tahu Sena bahwa dirinya sedang bingung. Ia melihat teman-temannya sedang berlibur ke Bali. Dan ia pun ingin menyusul mereka. Ia coba meminta izin kepada Sena untuk menyusul teman-temannya itu. Tanpa niat menghalangi dan sedikit rasa kesal dengan balasan yang singkat, Sena pun memperbolehkannya. Jani sadar mengapa Sena terlihat kesal dalam chatnya. Menyadari hal itu ia langsung meminta maaf kepada Sena karena sempat tidak memikirkan dirinya.

    Namun, Jani tetap memkasakan dirinya untuk pergi ke Bali dan melupakan janjinya untuk menjenguk Sena. Sena pun merasa sangat kecewa kepada Jani. Ia berpikir, bisa-bisanya Jani pergi berlibur ketika dirinya sedang melawan rasa sakit yang ia derita.

    Selama Jani di Bali, Jani selalu memikirkan Sena. Ia mencoba untuk menghubungi Sena, namun Sena tidak menjawabnya. Sena sangat kecewa dengan keputusan yang Jani ambil untuk pergi ke Bali menyusul teman-temannya. Sena lebih memilih untuk tidak memikirkan hal itu dan fokus melawan rasa sakit yang ia rasakan.

    Satu minggu berlalu dan sudah saatnya Jani kembali ke rumah. Ia tidak sanggup menahan rindu yang ia rasakan kepada Sena karena Sena menghilang tidak ada kabar. Rasa rindu, kesal dan khawatir pun bercampur aduk menjadi satu. Ia mencoba untuk menelfon Sena, namun masih tidak ada jawaban. Sena masih belum dapat berbicara kepada Jani. Ia masih merasa sulit untuk melupakan kejadian itu. Memang, memaafkan bukan berarti melupakan. Sesulit itu ternyata. Layaknya kertas yang rapih, apabila sudah lecek tidak lagi dapat kembali rapih seperti awalnya.

    Sena pun mencoba untuk memaafkan Jani dan melupakan kejadian itu. Ia segera memberi kabar kepada Jani dan meminta maaf karena sempat tidak membalas pesan dan menjawab telfonnya.

    Sangat disayangkan, setelah kejadian itu, setiap hal yang Jani lakukan terasa mengecewakan untuk Sena. Tetapi Sena tidak menunjukan kepada Jani mengenai hal itu. Ia lalui hari seperti biasa saja. Namun tetap saja Sena tidak bisa menyembukan perasaan yang selama ini ia rahasiakan kepada Jani. Ia selalu memberi alasan kepada Jani sedang tidak memegang HP saat di telfonnya.

    Tahun berganti, dan sena sudah mulai dapat berjalan seperti biasa setelah melakukan terapi di tiap harinya. Sena mencoba untuk kembali mengobrol dengan Jani melalu telfon.

    “Halo, Jani. Apakabar?” Tanya Sena dengan kaku.

    “Halo, baik kok. Akhirnya setelah sekian lama kamu mau ngomong lagi ya sama aku.” Jawab Jani.

    “Iya, maaf ya. Aku masih kepikiran banget sama yang kemarin kamu lakuin.”

    “Huhu, iya gapapa. Aku kan udah minta maaf sama kamu. Aku gak akan ngulangin hal yang sama dan coba buat gak lebih egois kok.”
    “Iya, gapapa kok Jan. Aku udah maafin kamu dan coba untuk ngerti kamu.”

    Sena berusaha menutupi perasaan kecewanya. Ia juga berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Jani. Dan mereka menjalani hari seperti biasanya tanpa membahas masalah sebelumnya. Meskipun terasa sulit, namun ia tetap mencoba yang terbaik.

    Jani juga berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sena dan menyempatkan dirinya datang ke Jakarta untuk memberi kejutan kepada Sena pada saat dia ulang tahun. Sena memang merasa terkejut atas kehadiran Jani. Namun apa daya, ia masih belum dapat melupakan kejadian sebelumnya. Seolah ingatan itu tiba-tiba datang kembali menghantui pikirannya dan ia pun menutupi perasaannya dengan menunjukan seolah-olah ia senang atas kehadiran Jani saat itu.

    Sena selalu menemani Jani selama ia di Jakarta. Mengajaknya ke coffee shop yang biasa Sena datangi, juga ke tempat wisata yang ada di Jakarta. Dan sena pun ingin memperkenalkan Jani kepada orang tuanya dan juga teman-temannya. Sena memang mempunyai jadwal rutin berolahraga ditiap minggunya bersama teman-teman yang ingin ia kenalkan kepada Jani. Namun saat diajak untuk ikut menemaninya berolahraga dengan teman-temannya, Jani menolaknya.

    “Jan, temenin aku olahraga yuk!” Ajak Sena.

    “Hah? Olahraga? Olahraga apa?” Jani balik bertanya.

    “Main bulutangkis, sekalian kamu aku kenalin ke temen-temen aku biar kamu percaya sama aku kalo aku lagi sama mereka. Tapi nanti mampir ke rumahku dulu ya untuk ambil baju biar sekalian kamu aku kenalin sama orang tua aku.”

    “Terus pas kamu main bulutangkis aku ngapain? Duduk diem aja gitu?”

    “Ya engga, kamu kan bisa ngobrol sama pacarnya temen-temen aku nanti. Pasti kamu gak akan bosen deh kalo ketemu mereka.”

    “Duh, enggak deh Sen. Aku telfon temen aku aja ya biar nongkrong sama temenku aja.”

    “Hah? Kamu serius nih?!”

    Mendengar jawaban Jani, Sena tidak menyangkanya. Karena tidak dapat menutupi kecewanya, ia pergi meninggalkan Jani dengan teman-temannya dan berolahraga. Jani tidak menyadari bahwa Sena kecewa terhadapnya. Ia asik berbincang dengan teman-temannya tanpa memikirkan Sena. Saat malam tiba dalam kesendiriannya, ia menyadari bahwa Sena kecewa terhadap dirinya. Ia menelpon Sena, tapi tidak ada jawaban.

    Esok harinya, barulah ada kabar dari Sena. Karena merasa harus menemani Jani, Sena kembali menghampiri Jani. Dan kembali, Sena merahasiakan perasaannya dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa kepadanya. Jani sudah mengetahui hal itu, dan ia segera meminta maaf kepada Sena karena ia tidak mengerti maksud baik Sena. Tanpa menghiraukan masalah itu, Sena mengajak Jani menonton film yang agar suasana kembali normal. Sena coba untuk mengesampingkan rasa kecewanya seolah tidak terjadi apa-apa.

    Tidak terasa sudah tiba saatnya Jani untuk kembali ke Surabaya. Beberapa hari di Jakarta mengajarkan Jani banyak hal dan ia merasa lebih mengenal Sena. Sena mengantarnya ke bandara. Ketkika di Bandara, Jani merasa ada yang aneh terhadap Sena.

    “Sen, kita baik-baik aja kan?” tanya Jani dengan penuh khawatir.

    “Iya, tenang aja. hehe.” Jawabnya sambil tersenyum kecil.

    Jani merasa curiga dengan jawaban Sena yang tidak biasa itu. Tapi, Panggilan pesawat Jani sudah terdengar. Jani memeluk Sena dengan erat dan membisikan Sena bahwa ia begitu menyangi Sena. Tanpa menjawab, Sena lagi-lagi hanya memberikan senyuman kecil kepadanya. Jani pun pergi meninggalkan Jakarta dengan sedikit murung memikirkan apa maksud senyum kecil Sena kepadanya itu. Tidak seperti perpisahan biasanya, Sena tidak merasakan sebuah kesedihan yang mendalam ketika ditinggalkan Jani. Rasa kecewa yang ia rasakan kepada Jani lebih besar dan selalu menghantui pikirannya.

    Waktu terus berjalan, hari demi hari Sena semakin merasakan sebuah kehampaan dalam hubungannya dengan Jani. Sena masih belum dapat mengatakan yang sebenarnya kepada Jani. Ia tetap merahasiakan perasaan itu. Tidak seperti biasanya, ia tidak mengabari Jani ketika ingin bertemu teman-temannya, meminta izin ketika mendapatkan pekerjaan fotografinya, lebih sering menghilang dan hanya membalas pesan jani seperlunya.

    Akhirya Sena sampai pada saat dimana ia tidak mampu menahan perasaan yang ia rahasiakan selama ini. Ia berpikiran, jika ia memendam keewanya lebih lama terhadap Jani, akan membuat Jani lebih merasakan sakit nantinya. Lalu ia memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada Jani. Jani hanya mampu terdiam, menahan sedih yang ia rasakan begitu dalam. Dengan tegar dan mencoba mengerti, Jani mengiyakan permintaan Sena. Mereka berdua berpisah.

    Hubungan mereka berlangsung hanya sesaat. Selayaknya senja, Sena datang menghadirkan keindahan, lalu hilang perlahan menyisakan gelap untuk Jani.
     
    -SELESAI-
  • ADDRESS

    Jakarta Timur, 13340, Indonesia

    EMAIL

    mformarv@gmail.com
    marvisitepu@gmail.com

    INSTAGRAM

    @19MARV

    MOBILE

    0823 11615566